"Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Dia bersumpah
akan memberikan kesempatan pada adik-adiknya untuk menjadi orang-orang yang
hebat. Sumpah yang membuat terang-benderang seluruh kisah ini.
Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Menyimpan seluruh
pengorbanannya seorang diri hingga detik terakhir hidupnya. Saat empat
adik-adiknya pulang secepat mungkin ke Lembah Lahambay yang indah, menemui
Kakak yang membutuhkan mereka untuk pertama kali sekaligus terakhir kali seumur
hidupnya."
Lagi-lagi novel bang Tere Liye. Nggak lama habis baca Daun
yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, aku baca novel ini. Kenapa novel ini jadi
pilihan untuk dibaca di antara buku bang Tere lain yang belum kubaca? Alasannya
karena aku lihat dari FBnya bang Tere, novel ini mau dibuat film. Kalau novel
mau dibuat film pastilah novelnya bagus, atau best seller, banyak yang
suka. Bidadari-bidadari Surga ini terbit
tahun 2008 ─sudah
lama juga hehe lebih dulu dibanding DyJTPMA (2010), dan ternyata sudah
berkali-kali dicetak ulang. Novel yang kupunya saja cetakan ke-7, tahun 2011 :D
Aku baca novel ini beberapa hari. Eits, bukan karena ceritanya nggak seru. Tapi
aku begitu sayang menghabiskan cerita ini. Memang, buku bagus itu kriterianya
kalau nggak bikin pembaca penasaran mau melahap buku tsb sampai akhir, ya kayak
aku gitu: lama-lamain bacanya, sayang kalau ceritanya habis. :’)
Membahasnya sedikit. Mmm sebelumnya pengumuman penting, akan
ada banyak spoiler di sini, hehe.
Ini novel tentang cinta. Bukan, bukan cinta kasih yang manis
romantis berhias konflik antara dua manusia yang statusnya belum halal (baca:
pacaran nggak jelas) yang malah menebar virus galau buat pembaca. Lebih dalam
dan lebih penting dari itu, ini tentang cinta dalam keluarga. Cinta seorang
anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain: anak-orang tua, anak-anak;
lebih khusus memang cinta seorang kakak pada adik(-adik)nya. Sesuatu yang di
zaman sekarang sepertinya semakin terkikis dan kehilangan tempat.
Tokoh sentralnya adalah Laisa. Ia adalah anak pertama dari
lima bersaudara dalam sebuah keluarga yang tinggal di lembah indah yang
sempurna dikepung hutan belantara dan terpencil dari manapun. Kota kecamatan
terdekat saja harus ditempuh dalam waktu dua jam perjalanan. Daerah itu namanya
Lembah Lahambay, letaknya persis di tengah-tengah bukit barisan yang membelah
pulau. Laisa ini, seorang kakak yang sangat istimewa. Ia mengorbankan,
memberikan, melakukan; segalanya, apa saja, yang ia bisa; untuk keempat adiknya
(Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta). Semata demi kesuksesan dan
kebahagiaan mereka, juga kebahagiaan Mamak (Lainuri). Semuanya ia lakukan
dengan penuh keikhlasan dan cinta kasih tulus, tanpa memedulikan dirinya
sendiri. Biar ia terluka, biar ia sakit, biar ia terbelakang, biar semuanya ia
simpan dan pendam sendiri, asal adik-adiknya berhasil. Itulah kebahagiaan
untuknya. Sosok yang begitu luar biasa.
Karena keterbatasan biaya, Kak Laisa rela mengorbankan
dirinya berhenti sekolah agar adik-adiknya bisa sekolah, juga agar ia bisa
lebih sering membantu Mamak bekerja: di
ladang, memasak gula aren, membuat rajutan, anyaman, dan lain-lain; yang dengan
itu akan menghasilkan lebih banyak uang. Kak Laisa penurut dan patuh pada
Mamak, Kak Laisa juga tegas, disiplin, dan sering memarahi adik-adiknya bila
mereka mulai bandel membolos sekolah. Namun Kak Laisa pun selalu membela dan tidak
akan membiarkan adik-adiknya kecewa atau malu. Bila ada yang harus kecewa atau
malu, itu adalah dirinya, bukan adik-adiknya. Kak Laisa mandiri, percaya diri,
bersemangat, dan selalu dapat belajar dari kesalahan, seperti saat mencoba
menanam strawberry di ladang mereka; yang pada awalnya dianggap aneh dan
mustahil berhasil karena mereka sudah terbiasa menanam jagung. Kak Laisa pintar
dan dapat mengajarkan apa yang tidak diajarkan di sekolah, seperti mengajari
Yashinta tentang alam, menunjukkan padanya berang-berang lucu, juga menjelaskan
sistem pertahanan diri seekor kukang yang tidak semua orang mengetahuinya.
Hanya orang seperti Kak Laisa yang mewarisi kebijakan alam yang tahu. Kak Laisa
tidak pernah datang terlambat untuk menolong adik-adiknya: menerabas hujan demi
mendatangkan kakak dari Fakultas Kedokteran yang sedang KKN di kampung mereka
untuk mengobati Yashinta yang kejang, meski
kakinya sakit bukan main terhantam batang kayu; juga berani menghadapi
penguasa hutan rimba Gunung Kendeng yang siap menerkam Ikanuri dan Wibisana,
dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai ‘tumbal’.
Malam itu di Gunung Kendeng, disaksikan kunang-kunang, di
remang semburat merah langit yang membuat wajah Kak Laisa yang hitam dan
berambut gimbal, kontras dengan adik-adiknya yang putih dan berambut lurus; Kak
Laisa berkata:
“Suatu hari nanti, sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip
cahaya lampu yang jauh lebih indah di luar sana, di luar lembah kita.. Suatu
hari nanti kalian akan melihat betapa hebatnya kehidupan ini.. Betapa indahnya
kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah.. Kakak
berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua itu terwujud.”
“Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang,
dengarkan Kakak. Kalian harus rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras.
Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang.
Bukan karena itu. Tapi kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras,
bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan
berbaik hati datang menjemput..”
Benar. Dengan kerja keras, sungguh-sungguh, Dalimunte yang
cemerlang sejak kecil kini sudah doktor,peneliti Fisika yang hebat; Ikanuri dan
Wibisana yang suka bandel pun sukses dengan usaha bengkelnya; Yashinta yang
cantik juga gemilang dengan passionnya pada alam dan sudah menyandang gelar
master di bidang Biologi. Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana juga telah menikah
dan memiliki anak; mereka telah memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia. Kehidupan
yang jauh membaik dan adik-adik yang membanggakan, itu semua sudah lebih dari
cukup untuk Kak Laisa.
Anggukan mantap yang Kak Laisa berikan saat Babak (ayah)
berkata, “Lais, kau bantu Mamakmu menjaga adik-adik hingga Babak pulang dari
mencari kumbang” lah yang membuat Kak Laisa bertahan. Anggukan yang menjadi
janji sejati, janji seorang kakak. Karena Babak mereka ternyata tidak pernah
pulang-pulang.
Dan doa “YaAllah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari
wanita-wanita mulia pilihan-Mu, hamba mohon kokohkanlah kaki hamba seperti kaki
Bunda hajar saat berlarian dari Safa-Marwa.. Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki
Bunda Hajar demi anaknya Ismail..” favorit Kak Laisa yang mengukir langit tiap
kali ia berkorban, yang menguatkan dan membuatnya tetap tegar.
Kak Laisa selalu menampakkan dirinya baik-baik saja, Kak
Laisa tidak pernah menangis di depan adik-adiknya, Kak Laisa tidak pernah
mengeluh, Kak Laisa selalu mengalah, Kak Laisa selalu menyimpan apa yang
dirasakannya sendirian … pun ketika dirinya divonis terkena kanker paru-paru.
Adik-adiknya tidak ada yang tahu hal itu. Hingga waktu yang pasti datang itu
dirasa sudah dekat, Kak Laisa akhirnya mengizinkan Mamak untuk memberitahu
mereka agar segera pulang..
Entah berapa kali aku nangis saat baca, nggak kehitung. Nangisnya
tuh sampai yang sesenggukan sesak banget gitu, hehe. Kurasa bukan karena aku
cengeng (aja) sih, tapi memang cerita ini sangat-sangat menyentuh. Emosional
banget walaupun sebenarnya sederhana. Kak Laisa yang digambarkan jauh dari kata
‘cantik’, ‘menarik’; ia hitam, pendek, berambut gimbal, namun kecantikan
hatinya berhasil membuat aku (dan aku yakin pembaca lain) sayang banget sama
tokoh ini. Kagum dan terinspirasi sama cinta juga pengorbanannya yang besar
untuk keluarga. Padahal ia hanya bayi yang ditinggal pergi..
Bahkan ngetik ini aku nangis juga. Hahaha. Duuh, Bang Tere
berhasil banget deh meracik novel ini. Idenya, alur ceritanya, tokoh-tokohnya,
deskripsinya yang detail, bahasanya yang ringan, sudut pandang yang dipakai
juga, semuanya keren. I love this book. :)
Eh ya, ada sedikit lagi yang mau kubahas. Tentang judul.
Kenapa ‘Bidadari-bidadari Surga’? Sedari kecil, Kak Laisa, Dalimunte, Wibisana,
Ikanuri, dan Yashinta dididik oleh Mamak dengan metode pendidikan canggih,
yaitu bercerita. Habis Subuh, Mamak itu selalu menyempatkan diri untuk
bercerita, 15-30 menit sudah cukup. Ceritanya tentang Nabi-nabi, sahabat Rasul,
keteladanan manusia, keteladanan hewan
dan alam liar (dongeng), dsb. Mereka akan merespon dengan imajinasi
masing-masing, terbang bersama imajinasi itu, dan tanpa mereka sadari ada
pemahaman arti berbagi, berbuat baik, dan perilaku bersyukur yang diselipkan
dalam cerita. Dan proses bercerita itu dilengkapi secara utuh dengan teladan
nyata. Kerja keras. Disiplin. Masa kanak-kanak sebagai masa meniru mereka tidak
keliru, mereka mendapat keteladanan yang baik dan benar. Mereka tumbuh dengan
akhlak yang baik dan karakter yang kuat.
Nah, ‘Bidadari-bidadari Surga’ itu adalah salah satu cerita
yang Mamak ceritakan kepada anak-anaknya. Bisa dibilang cerita itu cerita
favorit mereka, terutama sih Kak Laisa dan Yashinta. Mereka terbang dan larut
dalam imajinasi mereka ketika Mamak membacakan,
“Dan sungguh, di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli..”
(Al Waqiah: 22)
“Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip
bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita.” (Ar Rahman: 70)
“Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang
tersimpan dengan baik.” (Ash-Shaffat: 49)
‘Bidadari-bidadari Surga’ ini berhubungan juga dengan jodoh
Kak Laisa. Inipun jadi bagian yang menarik dari cerita, yap tentang bagaimana
Kak Laisa menemukan jodohnya. Dengan fisik yang jauh dari ideal, meski memiliki
hati yang cantik juga kaya luar biasa, sulit menemukan laki-laki yang bersedia
menikah dengannya. Berkali-kali adik-adiknya terutama Dalimunte mencarikan
jodoh untuk Kak Laisa. Satu cerita tentang calon jodoh Kak Laisa yang mau aku ceritain
di sini, karena menarik dan realistis banget.
Ada kakak kelas Dalimunte yang usianya sepantaran Kak Laisa,
seorang duda ditinggal meninggal istri tanpa anak. Kakak mentor Dalimunte,
aktivis masjid kampus. Bahkan telah dikenal sebagai salah satu penceramah agama
terkenal di ibukota. Ia fasih bicara soal mencari jodoh: bukan dilihat dari
wajah dan kecantikan pasangan, tapi dari “kecantikan hati”. Dalimunte yakin
banget kakak kelasnya itu tidak akan menilai seseorang dari tampilan wajah dan
fisik. Lalu proses itu terjadi sangat cepat, bahkan sang kakak kelas merasa
tidak perlu melihat foto-foto Kak Laisa. Hanya dengan mendengar apa yang
dilakukan Kak Laisa dari Dalimunte, ia merasa sudah menemukan pengganti
mendiang istrinya. Malah katanya, “Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan
selama ini.”
Tapi apa yang terjadi? Ketika untuk pertama kali sang kakak
kelas melihat Kak Laisa, respon yang diharapkan sangat jauh dari baik. Dengan
latar belakang pemahaman agamanya itu … ia menolak. Saat Dalimunte
‘menghujat’nya, mengkonfrontasi dengan apa yang selama ini ia gembar-gemborkan
soal kecantikan hati. Sang kakak kelas hanya berkata, “maksudku, setidaknya
cantik adalah menarik hati.” Dalimunte kesal bukan main, tapi ia tidak membenci
kakak kelasnya itu secara personal. Ia lebih membenci kenyataan bahwa: betapa
munafiknya manusia dalam urusan (mencari jodoh) ini. Sangat wajar Dalimunte
merasa seperti itu, soalnya kakak kelasnya itu berpura-pura ada jadwal acara
mendadak, ceramah entah di mana, yap seketika setelah melihat Kak Laisa.
Dalimunte juga benci pada ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang ketika
mencari jodoh. Dalam pikiran Dalimunte: padahal bila ingin menilai secara
objektif, Kak Laisa itu masuk tiga dari empat kriteria utama yang disebutkan
Nabi dalam memilih jodoh.
Satu, Kak Laisa itu shalehah. Dalam hubungan dengan Allah
maupun hubungan dengan manusia. Dua, dari sisi materi Kak Laisa itu lebih baik
dari gadis lain. Perkebunan strawberry yang berhasil itu membentang nyaris dua
hektar di lembah kesayangan mereka. Lalu yang ketiga, dari sisi keturunan.
Keluarga mereka terhormat, pekerja keras, tidak pernah meminta-minta, jujur,
dsb. Lalu mengapa harus mempersoalkan kecantikan? Bukankah itu hanya ada di
urutan keempat?
Mau tahu apa tanggapan Kak Laisa atas semua kejadian itu? Ia
justru dengan ringan dan bijak, “Keluarga yang baik hanya dapat terjadi ketika
suami merasa senang menatap istrinya.. Merasa tenteram.. Jika suami merasa
tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, atau sebaliknya, mereka tidak akan
pernah menjadi keluarga yang baik. Ingat kisah sahabat Nabi, yang meminta
bercerai karena fisik dan wajah pasangannya tidak menenteramkan hatinya.”
Dalimunte sangat tahu itu. Dia juga tahu persis kalimat bijak kalau: ketika
salah satunya justru memutuskan untuk bersabar atas pasangan yang tidak
beruntung dari tampilan wajah dan fisik tersebut, maka surga menjadi balasan
buatnya.
Bener-bener deh.. Cerita tentang calon jodoh yang satu ini
menurutku realistis banget. Sedih juga kalau ada sosok kayak kakak kelasnya
Dalimunte itu. Bukan, bukan karena dia menginginkan yang cantik menarik hati.
Itu wajar banget memang. Masalahnya, dia terlanjur gembar-gembor soal yang
namanya ‘kecantikan hati’, dan bilang nggak penting cantik wajah. Hyeeuh.
Padahal dalam hatinya ya maunya cantik fisik dan cantik hati pula. Bener
munafik namanya kalau gitu. Dan salahnya, dia nggak pakai lihat fotonya Kak
Laisa dulu. Itu fatal banget. I’ve learned so much from this. :)
Perjalanan mencari jodoh untuk Kak Laisa terus berlanjut.
Belum juga berhasil, sementara usia Kak Laisa dan adik-adiknya terus bertambah.
Kak Laisa sungguh tak masalah dan merelakan Dalimunte ‘melintas’, menikah
duluan. Juga demikian ketika tiba saatnya Ikanuri dan Wibisana menyusul, menemukan
jodoh mereka. Momen yang sebenarnya sangat berat dilakukan oleh mereka sendiri.
Mereka sebenarnya tidak mau melakukannya, tidak tega pada Kak Laisa. Untuk
memutuskan soal ‘melintas’ itu juga butuh waktu yang tidak sebentar, bahkan
mereka bertiga sempat membuat calon-calon istri mereka menunggu. Tapi Kak Laisa
tahu benar apa yang mereka inginkan, jadi lagi-lagi Kak Laisa mengalah. Ikhlas.
Bahkan sesaat sebelum ia pergi untuk selamanya, permohonan terakhirnya adalah
melihat Yashinta menikah. Lengkaplah Kak Laisa ‘dilintasi’ keempat adiknya.
Sedihkah Kak Laisa? Tidak. Ia justru bersyukur. “YaAllah..
Terima kasih atas segalanya.. Terima kasih.. Lais sungguh ikhlas dengan segala
keterbatasan ini, dengan segala takdirmu.. karena kau menggantinya dengan
adik-adik yang baik..” :’)
Sampai akhir hayatnya, Kak Laisa tidak menikah. Dan doa Kak
Laisa sebelum pergi, “YaAllah jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari
surga..”
Sedikit lagi. Yang nggak kalah penting dari semua yang sudah
kuceritain di atas, adalah epilog di novel ini. Bidadari-bidadari surga.
"Dengarkanlah kabar bahagia ini.
Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat
puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena
keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat
keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah, wanita-wanita
shalehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi,
berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi
bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga
parasnya cantik luar biasa."
Bidadari-bidadari Surga, salah satu novel terbaik yang
pernah aku baca. Semoga kalau jadi dibuat filmnya akan tetap bagus dan tidak
mengubah jalan cerita. Btw beredar kabar kalau proses syuting filmnya dimulai besok (18 Oktober 2012) dan perkiraan rilisnya Desember besok. Trus katanya yang bakal jadi Dalimunte itu
Reza Rahadian. Ihiy, semoga baguslah.
Terima kasih untuk karya yang luar biasa ini, bang Tere Liye
:)
*nggak nyangka “membahasnya sedikit” bakalan sepanjang ini *
:))