Rabu, 17 Oktober 2012

Bidadari-bidadari Surga

"Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Dia bersumpah akan memberikan kesempatan pada adik-adiknya untuk menjadi orang-orang yang hebat. Sumpah yang membuat terang-benderang seluruh kisah ini.

Laisa, adalah sulung dari lima bersaudara. Menyimpan seluruh pengorbanannya seorang diri hingga detik terakhir hidupnya. Saat empat adik-adiknya pulang secepat mungkin ke Lembah Lahambay yang indah, menemui Kakak yang membutuhkan mereka untuk pertama kali sekaligus terakhir kali seumur hidupnya."

Lagi-lagi novel bang Tere Liye. Nggak lama habis baca Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, aku baca novel ini. Kenapa novel ini jadi pilihan untuk dibaca di antara buku bang Tere lain yang belum kubaca? Alasannya karena aku lihat dari FBnya bang Tere, novel ini mau dibuat film. Kalau novel mau dibuat film pastilah novelnya bagus, atau best seller, banyak yang suka.  Bidadari-bidadari Surga ini terbit tahun 2008 ─sudah lama juga hehe lebih dulu dibanding DyJTPMA (2010), dan ternyata sudah berkali-kali dicetak ulang. Novel yang kupunya saja cetakan ke-7, tahun 2011 :D Aku baca novel ini beberapa hari. Eits, bukan karena ceritanya nggak seru. Tapi aku begitu sayang menghabiskan cerita ini. Memang, buku bagus itu kriterianya kalau nggak bikin pembaca penasaran mau melahap buku tsb sampai akhir, ya kayak aku gitu: lama-lamain bacanya, sayang kalau ceritanya habis. :’)

Membahasnya sedikit. Mmm sebelumnya pengumuman penting, akan ada banyak spoiler di sini, hehe.

Ini novel tentang cinta. Bukan, bukan cinta kasih yang manis romantis berhias konflik antara dua manusia yang statusnya belum halal (baca: pacaran nggak jelas) yang malah menebar virus galau buat pembaca. Lebih dalam dan lebih penting dari itu, ini tentang cinta dalam keluarga. Cinta seorang anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain: anak-orang tua, anak-anak; lebih khusus memang cinta seorang kakak pada adik(-adik)nya. Sesuatu yang di zaman sekarang sepertinya semakin terkikis dan kehilangan tempat.

Tokoh sentralnya adalah Laisa. Ia adalah anak pertama dari lima bersaudara dalam sebuah keluarga yang tinggal di lembah indah yang sempurna dikepung hutan belantara dan terpencil dari manapun. Kota kecamatan terdekat saja harus ditempuh dalam waktu dua jam perjalanan. Daerah itu namanya Lembah Lahambay, letaknya persis di tengah-tengah bukit barisan yang membelah pulau. Laisa ini, seorang kakak yang sangat istimewa. Ia mengorbankan, memberikan, melakukan; segalanya, apa saja, yang ia bisa; untuk keempat adiknya (Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta). Semata demi kesuksesan dan kebahagiaan mereka, juga kebahagiaan Mamak (Lainuri). Semuanya ia lakukan dengan penuh keikhlasan dan cinta kasih tulus, tanpa memedulikan dirinya sendiri. Biar ia terluka, biar ia sakit, biar ia terbelakang, biar semuanya ia simpan dan pendam sendiri, asal adik-adiknya berhasil. Itulah kebahagiaan untuknya. Sosok yang begitu luar biasa.

Karena keterbatasan biaya, Kak Laisa rela mengorbankan dirinya berhenti sekolah agar adik-adiknya bisa sekolah, juga agar ia bisa lebih sering membantu Mamak bekerja:  di ladang, memasak gula aren, membuat rajutan, anyaman, dan lain-lain; yang dengan itu akan menghasilkan lebih banyak uang. Kak Laisa penurut dan patuh pada Mamak, Kak Laisa juga tegas, disiplin, dan sering memarahi adik-adiknya bila mereka mulai bandel membolos sekolah. Namun Kak Laisa pun selalu membela dan tidak akan membiarkan adik-adiknya kecewa atau malu. Bila ada yang harus kecewa atau malu, itu adalah dirinya, bukan adik-adiknya. Kak Laisa mandiri, percaya diri, bersemangat, dan selalu dapat belajar dari kesalahan, seperti saat mencoba menanam strawberry di ladang mereka; yang pada awalnya dianggap aneh dan mustahil berhasil karena mereka sudah terbiasa menanam jagung. Kak Laisa pintar dan dapat mengajarkan apa yang tidak diajarkan di sekolah, seperti mengajari Yashinta tentang alam, menunjukkan padanya berang-berang lucu, juga menjelaskan sistem pertahanan diri seekor kukang yang tidak semua orang mengetahuinya. Hanya orang seperti Kak Laisa yang mewarisi kebijakan alam yang tahu. Kak Laisa tidak pernah datang terlambat untuk menolong adik-adiknya: menerabas hujan demi mendatangkan kakak dari Fakultas Kedokteran yang sedang KKN di kampung mereka untuk mengobati Yashinta yang kejang, meski  kakinya sakit bukan main terhantam batang kayu; juga berani menghadapi penguasa hutan rimba Gunung Kendeng yang siap menerkam Ikanuri dan Wibisana, dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai ‘tumbal’.

Malam itu di Gunung Kendeng, disaksikan kunang-kunang, di remang semburat merah langit yang membuat wajah Kak Laisa yang hitam dan berambut gimbal, kontras dengan adik-adiknya yang putih dan berambut lurus; Kak Laisa berkata:
“Suatu hari nanti, sungguh kalian akan melihat berjuta kerlip cahaya lampu yang jauh lebih indah di luar sana, di luar lembah kita.. Suatu hari nanti kalian akan melihat betapa hebatnya kehidupan ini.. Betapa indahnya kehidupan di luar sana. Kalian akan memiliki kesempatan itu, yakinlah.. Kakak berjanji akan melakukan apapun demi membuat semua itu terwujud.”

“Tapi sebelum hari itu tiba, sebelum masanya datang, dengarkan Kakak. Kalian harus rajin sekolah, rajin belajar, dan bekerja keras. Bukan karena hanya demi Mamak yang sepanjang hari terbakar matahari di ladang. Bukan karena itu. Tapi kalian harus selalu bekerja keras, bekerja keras, bekerja keras, karena dengan itulah janji kehidupan yang lebih baik akan berbaik hati datang menjemput..”

Benar. Dengan kerja keras, sungguh-sungguh, Dalimunte yang cemerlang sejak kecil kini sudah doktor,peneliti Fisika yang hebat; Ikanuri dan Wibisana yang suka bandel pun sukses dengan usaha bengkelnya; Yashinta yang cantik juga gemilang dengan passionnya pada alam dan sudah menyandang gelar master di bidang Biologi. Dalimunte, Ikanuri, dan Wibisana juga telah menikah dan memiliki anak; mereka telah memiliki keluarga yang harmonis dan bahagia. Kehidupan yang jauh membaik dan adik-adik yang membanggakan, itu semua sudah lebih dari cukup untuk Kak Laisa.

Anggukan mantap yang Kak Laisa berikan saat Babak (ayah) berkata, “Lais, kau bantu Mamakmu menjaga adik-adik hingga Babak pulang dari mencari kumbang” lah yang membuat Kak Laisa bertahan. Anggukan yang menjadi janji sejati, janji seorang kakak. Karena Babak mereka ternyata tidak pernah pulang-pulang.

Dan doa “YaAllah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihan-Mu, hamba mohon kokohkanlah kaki hamba seperti kaki Bunda hajar saat berlarian dari Safa-Marwa.. Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajar demi anaknya Ismail..” favorit Kak Laisa yang mengukir langit tiap kali ia berkorban, yang menguatkan dan membuatnya tetap tegar.

Kak Laisa selalu menampakkan dirinya baik-baik saja, Kak Laisa tidak pernah menangis di depan adik-adiknya, Kak Laisa tidak pernah mengeluh, Kak Laisa selalu mengalah, Kak Laisa selalu menyimpan apa yang dirasakannya sendirian … pun ketika dirinya divonis terkena kanker paru-paru. Adik-adiknya tidak ada yang tahu hal itu. Hingga waktu yang pasti datang itu dirasa sudah dekat, Kak Laisa akhirnya mengizinkan Mamak untuk memberitahu mereka agar segera pulang..

Entah berapa kali aku nangis saat baca, nggak kehitung. Nangisnya tuh sampai yang sesenggukan sesak banget gitu, hehe. Kurasa bukan karena aku cengeng (aja) sih, tapi memang cerita ini sangat-sangat menyentuh. Emosional banget walaupun sebenarnya sederhana. Kak Laisa yang digambarkan jauh dari kata ‘cantik’, ‘menarik’; ia hitam, pendek, berambut gimbal, namun kecantikan hatinya berhasil membuat aku (dan aku yakin pembaca lain) sayang banget sama tokoh ini. Kagum dan terinspirasi sama cinta juga pengorbanannya yang besar untuk keluarga. Padahal ia hanya bayi yang ditinggal pergi..

Bahkan ngetik ini aku nangis juga. Hahaha. Duuh, Bang Tere berhasil banget deh meracik novel ini. Idenya, alur ceritanya, tokoh-tokohnya, deskripsinya yang detail, bahasanya yang ringan, sudut pandang yang dipakai juga, semuanya keren. I love this book. :) 

Eh ya, ada sedikit lagi yang mau kubahas. Tentang judul. Kenapa ‘Bidadari-bidadari Surga’? Sedari kecil, Kak Laisa, Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta dididik oleh Mamak dengan metode pendidikan canggih, yaitu bercerita. Habis Subuh, Mamak itu selalu menyempatkan diri untuk bercerita, 15-30 menit sudah cukup. Ceritanya tentang Nabi-nabi, sahabat Rasul, keteladanan manusia, keteladanan hewan  dan alam liar (dongeng), dsb. Mereka akan merespon dengan imajinasi masing-masing, terbang bersama imajinasi itu, dan tanpa mereka sadari ada pemahaman arti berbagi, berbuat baik, dan perilaku bersyukur yang diselipkan dalam cerita. Dan proses bercerita itu dilengkapi secara utuh dengan teladan nyata. Kerja keras. Disiplin. Masa kanak-kanak sebagai masa meniru mereka tidak keliru, mereka mendapat keteladanan yang baik dan benar. Mereka tumbuh dengan akhlak yang baik dan karakter yang kuat.

Nah, ‘Bidadari-bidadari Surga’ itu adalah salah satu cerita yang Mamak ceritakan kepada anak-anaknya. Bisa dibilang cerita itu cerita favorit mereka, terutama sih Kak Laisa dan Yashinta. Mereka terbang dan larut dalam imajinasi mereka ketika Mamak membacakan,

“Dan sungguh, di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli..” (Al Waqiah: 22)

“Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita.” (Ar Rahman: 70)

“Bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik.” (Ash-Shaffat: 49)

‘Bidadari-bidadari Surga’ ini berhubungan juga dengan jodoh Kak Laisa. Inipun jadi bagian yang menarik dari cerita, yap tentang bagaimana Kak Laisa menemukan jodohnya. Dengan fisik yang jauh dari ideal, meski memiliki hati yang cantik juga kaya luar biasa, sulit menemukan laki-laki yang bersedia menikah dengannya. Berkali-kali adik-adiknya terutama Dalimunte mencarikan jodoh untuk Kak Laisa. Satu cerita tentang calon jodoh Kak Laisa yang mau aku ceritain di sini, karena menarik dan realistis banget.

Ada kakak kelas Dalimunte yang usianya sepantaran Kak Laisa, seorang duda ditinggal meninggal istri tanpa anak. Kakak mentor Dalimunte, aktivis masjid kampus. Bahkan telah dikenal sebagai salah satu penceramah agama terkenal di ibukota. Ia fasih bicara soal mencari jodoh: bukan dilihat dari wajah dan kecantikan pasangan, tapi dari “kecantikan hati”. Dalimunte yakin banget kakak kelasnya itu tidak akan menilai seseorang dari tampilan wajah dan fisik. Lalu proses itu terjadi sangat cepat, bahkan sang kakak kelas merasa tidak perlu melihat foto-foto Kak Laisa. Hanya dengan mendengar apa yang dilakukan Kak Laisa dari Dalimunte, ia merasa sudah menemukan pengganti mendiang istrinya. Malah katanya, “Kakakmu pasti secantik yang ia lakukan selama ini.”

Tapi apa yang terjadi? Ketika untuk pertama kali sang kakak kelas melihat Kak Laisa, respon yang diharapkan sangat jauh dari baik. Dengan latar belakang pemahaman agamanya itu … ia menolak. Saat Dalimunte ‘menghujat’nya, mengkonfrontasi dengan apa yang selama ini ia gembar-gemborkan soal kecantikan hati. Sang kakak kelas hanya berkata, “maksudku, setidaknya cantik adalah menarik hati.” Dalimunte kesal bukan main, tapi ia tidak membenci kakak kelasnya itu secara personal. Ia lebih membenci kenyataan bahwa: betapa munafiknya manusia dalam urusan (mencari jodoh) ini. Sangat wajar Dalimunte merasa seperti itu, soalnya kakak kelasnya itu berpura-pura ada jadwal acara mendadak, ceramah entah di mana, yap seketika setelah melihat Kak Laisa. Dalimunte juga benci pada ukuran-ukuran relatif yang ada di kepala orang ketika mencari jodoh. Dalam pikiran Dalimunte: padahal bila ingin menilai secara objektif, Kak Laisa itu masuk tiga dari empat kriteria utama yang disebutkan Nabi dalam memilih jodoh.

Satu, Kak Laisa itu shalehah. Dalam hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan manusia. Dua, dari sisi materi Kak Laisa itu lebih baik dari gadis lain. Perkebunan strawberry yang berhasil itu membentang nyaris dua hektar di lembah kesayangan mereka. Lalu yang ketiga, dari sisi keturunan. Keluarga mereka terhormat, pekerja keras, tidak pernah meminta-minta, jujur, dsb. Lalu mengapa harus mempersoalkan kecantikan? Bukankah itu hanya ada di urutan keempat?

Mau tahu apa tanggapan Kak Laisa atas semua kejadian itu? Ia justru dengan ringan dan bijak, “Keluarga yang baik hanya dapat terjadi ketika suami merasa senang menatap istrinya.. Merasa tenteram.. Jika suami merasa tersiksa melihat wajah dan fisik istrinya, atau sebaliknya, mereka tidak akan pernah menjadi keluarga yang baik. Ingat kisah sahabat Nabi, yang meminta bercerai karena fisik dan wajah pasangannya tidak menenteramkan hatinya.” Dalimunte sangat tahu itu. Dia juga tahu persis kalimat bijak kalau: ketika salah satunya justru memutuskan untuk bersabar atas pasangan yang tidak beruntung dari tampilan wajah dan fisik tersebut, maka surga menjadi balasan buatnya.

Bener-bener deh.. Cerita tentang calon jodoh yang satu ini menurutku realistis banget. Sedih juga kalau ada sosok kayak kakak kelasnya Dalimunte itu. Bukan, bukan karena dia menginginkan yang cantik menarik hati. Itu wajar banget memang. Masalahnya, dia terlanjur gembar-gembor soal yang namanya ‘kecantikan hati’, dan bilang nggak penting cantik wajah. Hyeeuh. Padahal dalam hatinya ya maunya cantik fisik dan cantik hati pula. Bener munafik namanya kalau gitu. Dan salahnya, dia nggak pakai lihat fotonya Kak Laisa dulu. Itu fatal banget. I’ve learned so much from this. :)

Perjalanan mencari jodoh untuk Kak Laisa terus berlanjut. Belum juga berhasil, sementara usia Kak Laisa dan adik-adiknya terus bertambah. Kak Laisa sungguh tak masalah dan merelakan Dalimunte ‘melintas’, menikah duluan. Juga demikian ketika tiba saatnya Ikanuri dan Wibisana menyusul, menemukan jodoh mereka. Momen yang sebenarnya sangat berat dilakukan oleh mereka sendiri. Mereka sebenarnya tidak mau melakukannya, tidak tega pada Kak Laisa. Untuk memutuskan soal ‘melintas’ itu juga butuh waktu yang tidak sebentar, bahkan mereka bertiga sempat membuat calon-calon istri mereka menunggu. Tapi Kak Laisa tahu benar apa yang mereka inginkan, jadi lagi-lagi Kak Laisa mengalah. Ikhlas. Bahkan sesaat sebelum ia pergi untuk selamanya, permohonan terakhirnya adalah melihat Yashinta menikah. Lengkaplah Kak Laisa ‘dilintasi’ keempat adiknya.

Sedihkah Kak Laisa? Tidak. Ia justru bersyukur. “YaAllah.. Terima kasih atas segalanya.. Terima kasih.. Lais sungguh ikhlas dengan segala keterbatasan ini, dengan segala takdirmu.. karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik..” :’)

Sampai akhir hayatnya, Kak Laisa tidak menikah. Dan doa Kak Laisa sebelum pergi, “YaAllah jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari surga..”

Sedikit lagi. Yang nggak kalah penting dari semua yang sudah kuceritain di atas, adalah epilog di novel ini. Bidadari-bidadari surga.

"Dengarkanlah kabar bahagia ini.
Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah, wanita-wanita shalehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa." 

Bidadari-bidadari Surga, salah satu novel terbaik yang pernah aku baca. Semoga kalau jadi dibuat filmnya akan tetap bagus dan tidak mengubah jalan cerita. Btw beredar kabar kalau proses syuting filmnya dimulai besok (18 Oktober 2012) dan perkiraan rilisnya Desember besok. Trus katanya yang bakal jadi Dalimunte itu Reza Rahadian. Ihiy, semoga baguslah. 

Terima kasih untuk karya yang luar biasa ini, bang Tere Liye :) 

*nggak nyangka “membahasnya sedikit” bakalan sepanjang ini * :))

4 komentar:

  1. bagus nih ya te?penuh spoiler kayaknya, haha :D
    eh ge mulai seneng reza rahardian nih, aktingnya apik :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. bagus dong kyy haha tapi iya postingan ini banyak spoiler :D
      haha gara2 Perahu Kertas yak? :p fyi kabar terbaru Dalimunte-nya nggak jadi diperanin sm Reza Rahadian ky, nggak tau juga kenapa. ya semoga tetep okeh :D

      Hapus
    2. tetep semagat...sangat inspiratif

      Hapus
  2. Kutipan menarik mbak

    "Dengarkanlah kabar bahagia ini.
    Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilan wajah). Yakinlah, wanita-wanita shalehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa."

    Lowongan Magang kerja perusahaan jepang gaji 15-25 juta/Bulan

    Magang Jepang Non IMM
    Progam Magang Jepang

    BalasHapus